16.4.11

Integrity, Please!

Malam itu saya pulang agak santai, karena Jumat malam adalah weekend. Yah memang karena jalannya santai sih ya... saya ketinggalan kereta hehe. Tak lama announcer stasiun sambil menyek-menyek mengabarkan bahwa kereta dibatalkan. Artinya saya harus menunggu 30 menit lagi minimal untuk mendapatkan krl menuju Depok. Lagu basi! Jadi saya duduk di pinggiran  peron, di sebelah pedagang sendal yang sedang menawarkan barangnya ke orang-orang di depan saya. Sekilas saya mendengar dia bilang "lima belas ribu".

"Berapa Bang satu? Lima belas ribu?"

Abang itu nyengir. Temannya tertawa-tawa. Saya tidak mengerti. Si abang senyum-senyum.

"Ya udah bu, lima belas ribu tuh, murah," kata temannya.

Saya menimang-nimang sendal jepit kecil. Dari kemarin saya memang niat membelikan sendal jepit kecil untuk si Baby yang udah main sana sini. Dan saya tahu, sandal seperti itu di mal harganya dua puluh lima ribu. Saya keluarkan uang dua puluh ribu.

Si abang dengan kalem menerima sambil bilang, "Harganya satu delapan ribu, Bu. Kalau dua lima belas ribu."

Temannya tertawa dan mencandai saya, "Nggak boleh ditarik lagi bu, ucapannya. Lima belas ribu kan?"

Saya ikut tertawa. Yah, lumayan banget kan sandal cuma delapan ribu. Tapi saya terkesan dan senang dengan kejujuran si Abang. Jadi, saya bilang, "Ya udah lempengin sepuluh ribu deh gpp. Buat beli keripik."

"Bener nih mbak?" kata si Abang.

Saya tersenyum dan mengangguk. Cuma dua ribu, sedekah nggak ada apa-apanya.

Setelah obrolan khas stasiun, sekian menit kemudian saya sudah turun dari kereta, berada di atas angkot menuju Kelapa Dua. Sebelum perempatan saya turun, menyerahkan uang lima ribu rupiah kepada supir. Dengan santai dia tancap gas setelah mengembalikan kembalian. Dua ribu lima ratus. Dia mengutip lima ratus perak dari biasanya (saya bilang biasanya, bukan seharusnya, you know lah mana ada tarif fix yang jelas untuk angkot). Hanya lima ratus perak dia bawa kabur! Tapi itu sukses membuat saya sebal!

Kadang ... sesuatu yang membuat kita tidak ikhlas bukan karena jumlahnya, tetapi dengan cara apa jumlah itu keluar. 

Hari itu saya belajar tentang apa itu hak, dan bagaimana menunaikan sebaik-baiknya, sesuai proporsi. Juga tentang berlaku jujur meski kondisi sangat mendukung kita untuk memanipulasi. Supaya saya kelak berhati-hati menjaga agar tidak ada hati yang tersakiti, tidak ada yang dirugikan, dan bersikap bukan karena orang melihat kita, tetapi karena kita bertanggung jawab di hadapan Tuhan.